Syarah Hadits Jibril ‘Alaihis Sallam Tentang Apa Itu Islam, Iman Dan Ihsan
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ
شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى
عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ
إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا
مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ
إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ,
وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ
اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ
يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ
: أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ
الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ.
قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ :
فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا
بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا,
قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ
الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ
الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا
عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ
أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ
دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :
Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang
lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam.
Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang
pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi,
lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua
tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata :
“Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
”Islam adalah, engkau bersaksi tidak
ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan
sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan
zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke
Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,”
lelaki itu berkata,
”Engkau benar,”
maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,
”Iman adalah, engkau beriman kepada
Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan
beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,”
ia berkata,
“Engkau benar.”
Dia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
”Hendaklah engkau beribadah kepada
Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi :
“Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,
”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi :
“Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,
”Jika seorang budak wanita telah
melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki,
tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling
berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku :
“Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”
Allah dan RasulNya lebih mengetahui,”
Beliau bersabda,
”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8] [1]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.
Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat.
Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul
Baari (I/115-116), yaitu :
– Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
– Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
– Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
– Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
– Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)
URGENSI HADITS
Qadhi ‘Iyaadh (wafat th. 544 H)
berkata : “Hadits ini mencakup penjelasan semua amal ibadah yang zhahir
maupun bathin, di antaranya ikatan iman, perbuatan anggota badan,
keikhlasan, menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu
syari’at, semuanya kembali kepada hadits ini dan merupakan pecahannya”.
Beliau melanjutkan: “Atas dasar hadits ini dan ketiga macamnya, aku
menulis kitab yang aku namakan al Maqooshid al Hisaan fii ma Yalzamul
Insaan. Karena tidak menyimpang dari yang wajib, sunnah, anjuran,
peringatan, makruh dari ketiga macamnya.
Wallahu a’lam. [Syarah Shahih Muslim I/158].
Imam Nawawi (wafat th. 676 H) berkata,”Ketahuilah, bahwa
hadits ini menghimpun berbagai macam ilmu, pengetahuan, adab, dan
kelemah-lembutan. Bahkan hadits ini merupakan pokok Islam, seperti yang
kami riwayatkan dari Qadhi ‘Iyaadh. [Ibid. I/160].
Imam al Qurthubi (wafat th. 671 H) berkata,”Hadits ini layak
disebut sebagai Ummus Sunnah (induk hadits), karena mengandung ilmu
hadits.” [Fathul Baari I/125].
Ibnu Daqiq al ‘Id (wafat th. 702 H) berkata,”Hadits ini seakan
menjadi induk bagi sunnah, sebagaimana al Fatihah dinamakan Ummul
Qur`an, karena ia mencakup seluruh nilai-nilai yang ada dalam al
Qur`an.” [Syarah Arba’in an Nawawiyyah, hlm. 31, oleh Ibnu Daqiq al
‘Id].
Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) berkata,”Ini merupakan hadits yang agung, mencakup semua penjelasan agama. Karenanya, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata di akhir hadits ‘ia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan
tentang agama kalian’ setelah menjelaskan kedudukan Islam, kedudukan
iman, kedudukan ihsan. Dan menjadikan semua itu agama.” [Jaami’ul ‘Uluum
wal Hikam I/97].
RIWAYAT LENGKAP HADITS INI DALAM SHAHIH MUSLIM
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya
dari Yahya bin Ya’mur [1], ia berkata: “Dahulu, yang pertama kali
berbicara tentang Qadar di Bashrah adalah Ma’bad al Juhani [2], maka aku
(Yahya bin Ya’mur) berangkat bersama Humaid bin Abdurrahman al Himyari
untuk melaksanakan haji atau umroh. Kami berkata: “Kalau kita bertemu
salah seorang dari sahabat Nabi, maka kita akan bertanya kepadanya
tentang orang-orang yang berbicara masalah qodar. Kemudian kami melihat
‘Abdullah bin ‘Umar masuk ke dalam masjid. Maka aku dan sahabatku
menggandeng tangannya satu di kanan yang lain di kiri. Aku mengira
sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata: “Wahai Abu
‘Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di kalangan kami orang yang
membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu -lalu dia menyebutkan perkara
mereka- sesungguhnya ini adalah sesuatu yang baru.” Ibnu Umar berkata:
“kalau engkau bertemu dengan mereka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas
diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dari aku. Demi Allah
kalau seandainya salah seorang dari mereka infak sebesar gunung Uhud
emas, Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada qodar.
Kemudian dia (Ibnu Umar) berkata: ‘Bapakku ‘Umar bin Khattab
menceritakan kepadaku …….. lalu dia menyebutkan hadits di atas.”
Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebelum dibawakan
hadits ini oleh Yahya bin Ya’mur dan Humaid bin Abdurrahman al Himyary,
ada beberapa faedah yang bermanfaat, yaitu:
1. Bid’ah pertama kali tentang peniadaan qadar, timbul di Bashrah
pada masa sahabat yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau wafat tahun 73 H.
2. Para tabi’in selalu bertanya kepada para sahabat untuk mengetahui
hukum dari perkara-perkara yang musykil, baik yang berkaitan dengan
masalah aqidah maupun yang lainnya. Hal ini adalah wajib atas setiap
muslim untuk mengembalikan urusan agama mereka kepada para ulama. Firman
Allah l :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada ahludz dzikr (ahli ilmu/ ulama) jika kamu tidak mengetahui.” [an Nahl:43]
3. Disunnahkan bagi seluruh kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji
dan umrah agar mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari
agama Islam dan memperdalamnya serta bertanya kepada para ulama yang ada
di Mekkah dan Madinah untuk mengetahui hukum-hukum agama yang belum
mereka ketahui. Sebagaimana yang dilakukan Yahya bin Ya’mur, Humaid bin
‘Abdurrahman al Himyari dan Yazid al Faqir.
Dari Yazid al Faqir dia berkata, “Saya pernah tertarik oleh suatu
pendapat kaum khawarij, lalu kami keluar dalam satu kelompok yang
berjumlah banyak, karena kami ingin melaksanakan ibadah haji kemudian
kami keluar ke tengah orang banyak.” Yazid berkata, “Kemudian kami
melewati kota Madinah. Tiba-tiba ada Jabir bin ‘Abdullah sedang
membicarakan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada suatu kaum dengan duduk bersama satu kafilah.” Yazid berkata,
“kemudian Jabir bin Abdillah menyebutkan penghuni-penghuni jahannam.”
Saya berkata kepada Jabir bin ‘Abdullah, “Wahai sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! apa yang kamu bicarakan ini? Sedangkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘
Sesungguhnya orang yang engkau masukkan ke dalam neraka maka sungguh engkau telah hinakan dia.’(ali Imran:192) dan firmanNya lagi, ‘
Setiap kali para penghuni neraka itu ingin keluar dari neraka maka mereka itu selalu dilemparkan kembali ke dalamnya.’(as Sajadah:20). Lalu apa yang kalian katakan itu?”
Jabir bertanya, “Sudahkah kamu membaca al Qur’an? Pernahkah kamu
mendengar tentang kedudukan nabi Muhammad yang akan diangkat oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala ? Saya menjawab, ‘ya sudah pernah’ Jabir berkata, “Itulah kedudukan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, yang dengan itu Allah mengeluarkan orang dari neraka yang beliau kehendaki.”
Kemudian Jabir bin ‘Abdullah menjelaskan letak as Shirath dan
bagaimana manusia melintas di atasnya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa
ada satu kaum yang keluar dari neraka setelah mereka berada didalamnya.
Yakni mereka keluar dengan jasad bagaikan biji kurma yang baru dijerang
di matahari. Kemudian mereka masuk dalam salah satu telaga surga,
kemudian mereka mandi dan keluar sebersih selembar kertas.
Kemudian kami pulang dan mengatakan, “Celakalah kamu sekalian! Apakah
kalian menganggap seorang syaikh (Jabir bin Abdullah) membuat
kebohongan terhadap Rasulullah?” maka kami terus pulang. Sungguh demi
Allah tidaklah ada yang keluar dari kelompok kami kecuali hanya seorang.
Demikianlah sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abu Nu’aim”. Abu
Nu’aim adalah Fadl bin Dukain, beliau salah seorang perawi hadits ini
[Syarah shahih muslim oleh Imam an Nawawi III/50-52]
Rombongan ini datang untuk menunaikan ibadah haji mereka mempunyai
pemahaman yang salah, yaitu orang-orang yang berbuat dosa besar tidak
keluar dari neraka. Mereka membawakan ayat-ayat yang turun untuk orang
kafir dikenakan kepada kaum Muslimin dan pemahaman ini adalah pemahaman
Khawarij.
Ibnu ‘Umar memandang bahwa Khawarij adalah sejelek-jelek makhluk
Allah, ia berkata “Mereka membawakan ayat-ayat yang turun kepada
orang-orang kafir dikenakan kepada kaum mukminin.” [Fathul Baari
XII/282]
Di dalam kisah ini menunjukkan bahwa syaithan menyesatkan manusia
dengan dua cara; Pertama, orang-orang yang lalai dan berpaling dari
keta’atan dihiasi dengan syahwat kedua, orang-orang yang taat dan ahli
ibadah, syetan menyesatkan mereka dengan cara ghuluw (berlebih-lebihan)
dan melemparkan syubhat kepada mereka. (syarah hadits jibril hal.12)
Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa hati manusia dirusak oleh fitnah syahwat
dan fitnah syubhat.[3]
Kedua fitnah ini sangat berbahaya bagi manusia.
KANDUNGAN HADITS JIBRIL
Dari penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya :
1. Menunjukkan tentang pentingnya majelis ilmu.
Karena, itu setiap ulama dianjurkan mengadakan majelis ilmu yang
ditentukan waktunya, setiap sepekan sekali atau dua kali, supaya mereka
tidak bosan. [4]
2. Memperbaiki pakaian dan penampilan.
Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan
memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap
baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku
yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penampilan dan sikap yang baik.
3. Defenisi Islam
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah
Azza wa Jalla. Adapun secara terminology, disebutkan :
الإِ سلامُ: اَلإِستِسلاَمُ للهِ بِالتَوحَيدِ وَاالإِنقِياَدُ لَهُ بِالطَّاعَةِ وَالبَرَاءَةُ مِنَ الشِّركِ وَأَهلِه
Islam adalah patuh dan tunduk kepada Allah dengan cara mentauhidkan,
mentaati dan membebaskan diri dari kemusyrikan dan ahli syirik. [5]
الإسلام والاستسلام , menurut bahasa artinya
الإنقياد .
Yaitu patuh dan tunduk. Sedangkan menurut syari’at, yaitu menampakkan
ketundukan dan memperlihatkan syari’at serta berpegang teguh dengan yang
dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan hal tersebut, terpelihara dan tercegahlah darah dari segala yang dibenci.
Dalam hadits di atas, kekasih Rabb semesta alam
‘alaihish shalatu wassalam
mendefinisikan Islam dengan amalan-amalan anggota badan yang tampak.
Yaitu berupa perkataan dan perbuatan. Mengucapkan dua kalimat syahadat
adalah perbuatan lisan. Shalat dan puasa adalah perbuatan badan (tubuh).
Zakat harta adalah amalan pada harta, dan haji adalah amalan pada badan
dan harta.
Islam adalah agama yang dilandaskan atas lima dasar, yaitu :
a. Mengucapkan dua kalimat syahadat (
أشْهَدُ أن لاإِله إِلاَّالله وَأَشهَدُأَنَّ مُحَمَّدًارَسُولُ الله),
artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan
benar melainkan hanya Allah, dan Aku bersaksi bahwasanya Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan Allah.
b. Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah.
c. Mengeluarkan zakat.
d. Puasa pada bulan Ramadhan.
e. Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi
ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
4. Definisi Iman [6].
Iman adalah at tashdiq, yaitu pengakuan dan pembenaran.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan iman
dalam hadits ini sebagai keyakinan yang ada dalam batin. Dan Ahlus
Sunnah berkeyakinan, iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat
(kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal perbuatan termasuk ke dalam nama
iman.
• Islam dan Iman.
Melalui penjelasan di atas, maka kita pahami, Iman dan Islam adalah dua
hal yang berbeda, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pada
dasarnya, jika berbeda nama, tentu berbeda makna. Meskipun demikian,
tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, yaitu Islam berarti
Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia
tanpa Islam, dan demikian juga sebaliknya.
Apabila nama keduanya dipisah, maka yang lain masuk ke dalam
(pengertian)nya, dan menunjukkan pada apa yang ditunjukkan oleh yang
lain ketika berdiri sendiri. Apabila keduanya digabungkan, maka salah
satunya menunjukkan kepada sesuatu bila berdiri sendiri. Jika dalam satu
nash dihubungkan antara Iman dan Islam, maka masing-masing mempunyai
pengertian yang berbeda. Sehingga definisi iman adalah, pembenaran hati
disertai penetapan dan pengetahuannya. Dan pengertian Islam ialah
berserah diri kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya dengan amal
perbuatan.
• Merupakan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwasanya amal termasuk ke dalam iman.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْإِيمَانُ بِضْعٌ
وَسَبْعُونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ
مِنْ الْإِيمَانِ
Iman memiliki tujuh puluh cabang lebih. Yang paling utama ialah
ucapan Laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Dan malu termasuk cabang dari iman. [7]
Menyingkirkan gangguan merupakan perbuatan dan beliau n memasukkannya ke dalam iman.
• Di antara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan mereka, bahwa iman dapat bertambah dan berkurang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ
…supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)… [al Fath : 4].
Ibnu Baththal
rahimahullah berkata : “Apabila dikatakan ‘iman
secara bahasa adalah pembenaran’, maka jawabnya, adalah ‘sesungguhnya
pembenaran akan sempurna dengan berbagai ketaatan seluruhnya. Tidaklah
seorang mu’min bertambah amal kebaikannya, melainkan imannya menjadi
lebih sempurna’.
Dengan pernyataan ini -pembenaran akan sempurna dengan ketaatan-,
(maka) iman akan bertambah. Dan dengan berkurangnya pernyataan tersebut,
maka iman pun berkurang. Kapan saja berkurang amal kebaikan, maka
berkurang pula kesempurnaan iman. Kapan saja bertambah amal kebaikan,
maka bertambah pula kesempurnaannya. Inilah perkataan pertengahan dalam
masalah iman”. [8]
• Keutamaan orang mukmin bertingkat-tingkat.
Keimanan orang-orang shiddiq yang menjadikan sesuatu yang ghaib bagi
mereka seperti sesuatu yang tampak, tidak sama dengan orang-orang yang
belum mencapai tingkatan ini. Termasuk di antaranya perkataan sebagian
ulama : “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian (dalam tingkatan ini)
dengan banyaknya puasa, tidak juga banyaknya shalat, akan tetapi dia
mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di dalam hatinya”.
Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat
dan beruntung. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia akan sesat dan
merugi. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ
عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن
يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang mukmin, berimanlah kepada Allah, RasulNya, kitab
suci yang telah diturunkan kepada RasulNya (Muhammad n ) dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur kepada Allah,
malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya dan hari Kiamat,
maka sungguh ia benar-benar tersesat. [an Nisaa` : 136].
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan, Iman itu bertambah dan berkurang. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang
mu’min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang
telah ada). [al Fath : 4]
.
نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya.
Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb
mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; [al Kahfi : 13].
5. Iman kepada Allah mencakup empat hal.
• Iman tentang adanya Allah diyakini oleh setiap makhluk.
Bahwa adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan isinya terjadi dengan sendirinya.
• Iman tentang rububiyah Allah.
Yaitu meyakini, hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan
bumi, dan seluruh alam semesta beserta isinya, yang memberikan rezeki,
mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan dan lainnya.
• Iman tentang uluhiyah Allah.
Yaitu mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba. Dengan cara itu,
manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan
olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja` (harap), mahabbah
(cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta
pertolongan), istighatsah (minta pertolongan saat mengalami kesulitan),
isti’adzah (minta perlindungan), dan segala yang disyari’atkan dan
diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun.
Semua ibadah ini dan lainnya, harus dilakukan hanya kepada Allah semata
dan ikhlas karenaNya. Ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada
selain Allah. Tauhid ini merupakan inti dakwah para rasul, dari rasul
yang pertama sampai terakhir.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. [al Anbiya’ : 25].
Setiap rasul, memulai dakwahnya mengajak umat kepada tauhid uluhiyah, sebagaimana Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. [9]
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ
Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Illah bagimu selainNya. [QS al A’raaf : 59 Lihat juga ayat 65, 73 dan 85].
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa
pun. Bila ibadah itu dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya
terjatuh kepada syirkun akbar dan tidak diampuni dosanya.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa
yang dikehendakiNya. [an Nisa : 48 dan 116]
• Tauhid Asma` wa Shifat.
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan
atas diriNya, baik berkaitan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah;
dan Ahlus Sunnah mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan,
sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya. Kita
wajib menetapkan nama dan sifat Allah, sebagaimana yang terdapat di
dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan tidak boleh dita’wil (dirubah
maknanya).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) berkata,”Manhaj
Salaf dan para imam ahlus sunnah, mereka mengimani tauhid asma` wa
shifat dengan menetapkan apa yang telah Allah tetapkan atas diriNya dan
telah ditetapkan RasulNya untukNya, tanpa tahrif dan ta’thil, serta
tanpa takyif dan tamtsil. Ahlus Sunnah menetapkan tanpa tamtsil,
menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua sifat Allah dan menafikan
persamaan sifat Allah dengan makhluknya”. [Lihat penjelasannya di dalam
Syarah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hlm. 94, Cet. II].
Firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura : 11].
Lafazh ayat laisa kamitslihi syai’ (tidak ada yang serupa denganNya)
merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan sifat-sifat Allah
dengan makhlukNya. Sedangkan lafazh ayat
wahuwas samii’ul bashiir
(dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat) sebagai bantahan kepada
orang-orang yang menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah.
I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah didasari atas
dua prinsip. Pertama, bahwasanya Allah wajib disucikan dari semua sifat
kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati dan
lainnya. Kedua, Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, tidak
memiliki kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk
yang menyamai sifat-sifat Allah. [10]
6. Ahlus sunnah mengimani tentang adanya Malaikat.
Bahwasanya malaikat diciptakan dari cahaya. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
Diciptakan malaikat dari cahaya, diciptakan jin dari api yang
menyala-nyala, dan diciptakan Adam dari apa yang disifatkan kepada
kalian. [HR Muslim, no. 2996, 60].
Malaikat mempunyai sayap, sebagaimana Allah berfirman di awal surat
Faathir. Dan jumlah malaikat sangat banyak, tidak ada yang mengetahui
kecuali hanya Allah. Ada hadits yang menyatakan, bahwa Baitul Ma’mur di
langit yang ke tujuh dimasuki setiap hari oleh 70.000 malaikat. Bila
mereka keluar tidak kembali lagi ke situ. [HR Bukhari, no.3207 dan
Muslim, no. 259].
Malaikat mendapat tugas bermacam-macam dari Allah. Mereka adalah
makhluk yang tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah, dan mereka
selalu bertasbih kepada Allah.
Sifat-sifat Malaikat Jibril.
Dia adalah ar Ruh al Amin, sebagaimana firman Allah :
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
Dia dibawa turun oleh ar Ruh al Amin (Jibril). [asy Syu’araa` : 193]
Allah mensifatinya dengan sifat amanah dan suci sebagai rekomendasi yang agung dari Rabb
Azza wa Jalla.
Allah mensifatinya sebagai makhluk yang baik atau berakhlak mulia,
memiliki keindahan bentuk, mempunyai kedudukan di sisi Allah. Dia adalah
pemimpin para malaikat yang ditaati perintahnya di langit.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya dua kali. Yang pertama pada tiga tahun setelah beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dan yang kedua pada malam Isra’ dan Mi’raj.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati Malaikat
Jibril dengan kebesaran penciptaannya (bentuknya). Disebutkan, dari
Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata : “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat Jibril dengan bentuk aslinya. Dia memiliki enam ratus sayap.
Setiap satu sayap darinya dapat menutup ufuk, lalu berjatuhan dari
sayapnya macam-macam warna –sesuatu yang bermacam-macam warnanya- dari
mutiara dan yaqut”. [11]
7. Ahlus Sunnah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada RasulNya.
Sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kitab-kitab Taurat, Injil, Zabur,
Shuhuf Ibrahim dan Musa serta al Qur`an tersebut diturunkan oleh Allah
dengan benar dan bukan makhluk.
Keistimewaan al Qur`an dari kitab-kitab lainnya :
• Kita wajib mengimaninya secara rinci, membenarkan semua berita yang
terdapat di dalamnya, melaksanakan perintahNya, menjauhkan laranganNya
dan beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al
Qur`an dan as Sunnah.
• Al Qur`an adalah mu’jizat yang abadi. Tidak ada seorang pun jin dan
manusia yang mampu untuk membuat satu surat saja seperti al Qur’an [al
Israa` : 88].
• Allah menjamin untuk menjaga al Qur`an [al Hijr : 9].
• Al Qur`an sebagai tolak ukur dari kitab-kitab sebelumnya. Dan Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dari al Qur`an.
• Al Qur`an adalah kalamullah bukan makhluk, berasal dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan akan kembali kepadaNya; dan bahwasanya Allah berbicara secara hakiki.
8. Iman kepada rasul-rasul Allah.
Ahlus Sunnah beriman kepada rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap
kaumnya. Yang dimaksud rasul adalah, orang yang diberi wahyu untuk
disampaikan kepada umat. Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh, dan yang
terakhir Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap umat
tidak pernah kosong dari nabi utusan Allah yang membawa syari’at khusus
untuk kaumnya, atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang
diperbaharui.
Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai
sedikit pun keistimewaan rububiyah maupun uluhiyah. Mereka juga tidak
mengetahui perkara yang ghaib. Allah berfirman tentang Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin para rasul dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.
قُل لَّا أَمْلِكُ
لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ
أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ
السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan
tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan
sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak
lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman”. [al A’raaf : 188].
Iman kepada Rasul mengandung empat unsur :
• Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa
mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut
pendapat seluruh ulama, ia dikatakan kafir, sebagaimana firman Allah
dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 105.
• Mengimani nama-nama rasul yang sudah kita kenali, yang Allah
sebutkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah yang shahih. Jumlah nabi dan
rasul sangat banyak. Menurut riwayat, jumlah nabi ada 124.000 dan jumlah
rasul ada 315. Adapun yang terkenal adalah 25 rasul.[12]
Allah menyebutkan tentang para nabi dan rasul di dalam al Qur`an ada
25. Yaitu Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq,
Ya’qub, Yusuf, Syu’aib, Ayyub, Dzulkifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman,
Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan Muhammad. Lihat surat al
Imran ayat 33, Hud ayat 50, 61, 84, al Anbiya ayat 85, al An’aam ayat
83-86 dan al Fath ayat 29.
Adapun para rasul yang tidak diketahui namanya, maka wajib bagi kita mengimani secara global. Allah berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu,
di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka
ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu… [al Mu’min : 78]
• Membenarkan berita-berita mereka yang shahih riwayatnya.
• Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Beliau adalah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus Allah kepada seluruh manusia dan penutup para nabi. Allah berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا
يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا
يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
Maka demi Rabb-mu, maka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
sepenuhnya. [an Nisaa` : 65].
9. Iman kepada Yaumul Akhir (hari kiamat).
Yaitu mengimani yang dikabarkan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang yang terjadi setelah kematian. Di antaranya : fitnah kubur,
adzab kubur, nikmat kubur, dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar,
ditegakkannya timbangan, dibukanya catatan-catatan amal, adanya hisab,
al Haudh (telaga), shirath (jembatan), syafa’at, Surga dan Neraka.
Firman Allah :
يُثَبِّتُ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي
الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا
يَشَاءُ
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. [Ibrahim : 27].
Allah berfirman tentang adanya adzab kubur :
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
Kepada mereka dinampakkan Neraka pada pagi dan petang dan pada hari
terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada Malaikat) : “Masukkanlah Fir’aun
dan kaumnya kepada adzab yang sangat keras”. [al Mu’min : 46].
Allah menciptakan kejadian-kejadian saat Kiamat datang menjelang.
Salah satunya, Allah menyuruh Malaikat Israfil meniup sangkakala,
sebagaimana firmanNya :
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ
فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَن شَاءَ
اللَّهُ ۖ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَىٰ فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنظُرُونَ
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di
bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala
itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya
masing-masing).” [az Zumar : 68].
Ruh-ruh ketika itu akan dikembalikan kepada jasadnya masing-masing.
Maka bangkitlah manusia dari liang kuburnya untuk menghadap Allah, Rabb
semesta alam. Mereka bangkit dengan tidak beralas kaki, tidak berpakaian
dan tidak berkhitan. Matahari dekat dengan mereka dan peluh (keringat)
bercucuran membasahi tubuh. Kemudian ditegakkan timbangan, dibukakan
catatan-catatan amal, serta adanya hisab, sebagaimana firman Allah dalam
surat al Mu’minun ayat 102-104.
Kita mengimani al Haudh (telaga) bagi Rasulullah. Airnya lebih putih
daripada susu, lebih manis dari madu, lebih harum dari minyak kesturi,
panjang dan lebarnya sejauh perjalanan satu bulan, bejana-bejananya
seindah dan sebanyak bintang di langit. Maka kaum Mukminin dari umat
beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meminum dari haudh tersebut. Siapa yang minum seteguk air darinya, maka dia tidak akan merasa haus lagi sesudah itu.[13]
Kita mengimani ash shirath (jembatan). Yaitu jembatan yang
direntangkan di atas Neraka Jahanam yang akan dilewati umat manusia
sesuai dengan amal perbuatan mereka. Yang pertama kali melewatinya
seperti kilat, kemudian seperti angin, seperti burung terbang, seperti
orang berlari, seperti orang berjalan, dan ada pula yang merangkak.
Mereka dibawa oleh amal perbuatannya. Ketika itu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri di atas jembatan dan berdoa : “Ya Allah, selamatkanlah,
selamatkanlah”. Pada kedua sisi jembatan itu ada kait-kait yang
digantungkan, diperintahkan untuk mengait siapa yang telah diperintahkan
kepadanya. Sehingga ada yang terkoyak tetapi selamat, dan ada pula yang
tercampakkan ke dalam api Neraka [14]. Umat yang pertama kali masuk
Surga adalah umat Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada hari Kiamat, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai tiga syafa’at :
• Syafa’at pertama, yaitu syafa’at `uzhma (yang agung). Diberikan kepada
umat manusia di Mauqif. Yaitu saat manusia dikumpulkan Allah di Padang
Mahsyar, untuk diberi keputusan. [15]
• Syafa’at kedua, yaitu syafa’at yang diberikan kepada para ahli surga untuk memasuki Surga.
Kedua syafa’at di atas khusus bagi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Syafa’at ketiga, yaitu syafa’at yang diberikan kepada orang-orang yang
berhak masuk Neraka. Syafa’at ini bersifat umum, yaitu bagi beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi, serta para shiddiqin dan yang lain dari kalangan kaum Muslimin.
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberikan syafa’at kepada orang yang semestinya masuk Neraka untuk tidak masuk Neraka, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi syafa’at kepada orang yang sudah masuk Neraka untuk dikeluarkan
dari api Neraka, serta syafa’at Rasul untuk pelaku dosa besar dari umat
Islam, seperti sabda Rasulullah dari sahabat Anas bin Malik:
“Syafa’atku akan diberikan bagi pelaku dosa besar dari umatku”. (HR
Tirmidzi, no. 2435; Hakim I/69. Tirmidzi berkata, bahwa hadits ini hasan
shahih). Dan Allah mengeluarkan dari api Neraka beberapa kaum, tanpa
melalui syafa’at, akan tetapi berkat karunia dan rahmatNya. [16]
Sesungguhnya Surga dan Neraka sudah diciptakan Allah. Keduanya adalah
makhluk yang kekal abadi. Surga adalah balasan bagi wali-wali Allah,
sedangkan Neraka sebagai tempat hukuman bagi orang yang bermaksiat
kepadaNya, kecuali yang mendapatkan rahmatNya. Adapun orang-orang kafir,
mereka tetap kekal di dalam Neraka selama-lamanya.
Tanda-Tanda Hari Kiamat
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini menyebutkan dua tanda. Di antara tanda-tanda telah dekatnya hari Kiamat, yaitu :
a. Apabila budak wanita melahirkan tuannya.
Para ulama memiliki beberapa penafsiran terhadap pengertian ini, antara lain:
• Ada yang berpendapat, banyaknya anak yang durhaka. Yaitu seorang
anak memperlakukan ibunya sebagaimana perlakuan tuan terhadap budak
wanitanya. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Hajar.
• Ibnu Rajab berkata,”Ini sebagai isyarat atas pembukaan negeri (kaum
Mukminin mengalahkan negeri-negeri kafir) dan banyaknya perbudakan,
sehingga banyak budak wanita yang dijadikan gundik dan anak mereka pun
menjadi banyak. Maka jadilah budak wanita sebagai budak pemiliknya, dan
anak tuannya dari budak wanita itu berkedudukan seperti tuannya. Karena
anak majikan berkedudukan sebagai majikan”.
• Sebagian ulama mengambil pendapat yang mengatakan bahwa ibu si anak
itu dapat merdeka dengan kematian tuannya. Seolah-olah, anaknyalah yang
memerdekakannya, maka pembebasan itu dinisbatkan kepada anak tersebut.
Dengan hal tersebut, jadilah si anak seolah-olah sebagai majikannya.
b. Sehingga engkau melihat orang yang fakir, telanjang badan dan kaki
sebagai penggembala kambing berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan.
Maksudnya, orang-orang dari kalangan rakyat jelata (orang bodoh)
menjadi para pemimpin. Harta mereka pun banyak. Mereka mendirikan
bangunan yang tinggi sebagai kebanggaan dan kesombongan tehadap
hamba-hamba Allah.
10. Iman kepada Qadh dan Qadar.
Qadha adalah hukum Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang azali (telah ada) sebelum diciptakannya sesuatu atau ketiadaannya. Qadar adalah penciptaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu dengan suatu cara, dan di waktu yang khusus. Dan terkadang keduanya dimutlakkan kepada yang lainnya.
Iman kepada takdir dibangun dari dua hal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama:
• At tashdiq (pembenaran).
Bahwasanya ilmu Allah mendahului apa yang diperbuat oleh para hambaNya,
berupa kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan sebelum mereka
diciptakan. Dan Allah telah mencatat semuanya itu di dalam Lauhil
Mahfuzh.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menulis takdir seluruh makhlukNya lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
Dan ‘ArsyNya berada di atas air.
Seluruh amal perbuatan mereka pasti sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah
Azza wa Jalla
dan berjalan menurut apa yang telah diketahui oleh ilmuNya. Firqah
Qadariyyah yang ekstrim telah menafikan hal ini (ilmu Allah). Di antara
tokohnya, yaitu : Ma’bad al Juhani, Amr bin Ubaid dan selain mereka.
Mereka telah menyelisihi pendapat Salaful Ummah, sehingga mereka pun
tersesat dari jalan yang lurus.
Imam Ahmad, asy Syafi’i dan selain mereka berpendapat tentang
kafirnya orang-orang yang mengingkari ilmu Allah yang qadim (terdahulu).
• Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan seluruh perbuatan
hambaNya berupa berkurangnya iman, ketaatan dan kemaksiatan, dan
menutupkannya di antara mereka dengan kehendaknya.
Iman kepada qadha dan qadar ada empat tingkatan:
• Al Ilmu.
Yaitu, mengimani bahwa Allah dengan ilmuNya, yang merupakan sifatNya
yang azali dan abadi, telah mengetahui segala amal perbuatan makhlukNya,
serta mengetahui segala ihwal mereka, seperti taat, maksiat, rizki,
ajal, bahagia, dan celaka.
• Al Kitaabah.
Bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuz seluruh takdir makhluk. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أوّلُ مَا خَلَقَ اللهُ القَلَمَ قَالَ لَهُ اُكْتُبْ قَالَ:مَا أَكْتُبُ ؟ قَالَ : اُكْتُبْ مَاهُوَ كَائِنٌ إِلَى يَومِ القِيامَةِ
Pertama kali yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah
berfirman kepadanya: “Tulislah,” (maka) ia menjawab,”Apa yang harus aku
tulis?” Allah berfirman,”Tulislah semua yang terjadi sampai hari
Kiamat!” [HR Ibnu Ashim di dalam as Sunnah, no. 103; Ahmad V/317] [17].
Sebagaimana juga Allah berfirman:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ
اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي
كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu
terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian
itu amat mudah bagi Allah. [al Hajj : 70].
• Al Masyi’ah.
Yaitu, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Sebaliknya, apa yang
tidak dikehendakiNya, tidak akan terjadi. Semua gerak-gerik yang terjadi
di langit dan di bumi hanyalah dengan kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam kerajaanNya apa yang tidak diinginkanNya.
• Al Khalq.
Yaitu, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang
belum ada. Karena itu, tidak ada satupun makhluk di bumi atau di langit,
melainkan Allah-lah yang menciptakannya, tiada pencipta selain Dia,
tiada Ilah melainkan hanya Allah saja. Sebagaimana firmanNya:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. [az Zumar : 62].
Dengan demikian, hendaknya bagi orang yang membahas nash-nash tentang
qadha dan qadar agar memperhatikan hal-hal berikut, sehingga selamat
dari penyimpangan terhadap rukun ini :
a. Membedakan antara sifat Allah dengan sifat makhlukNya.
Pembedaan antara ilmu Allah
Azza wa Jalla dan ilmu manusia haruslah dilakukan. Sifat ini harus ditetapkan untuk Allah dengan bentuk yang paling sempurna.
Seluruh sifat Allah
Tabaraka wa Ta’ala adalah sempurna, tidak
dicampuri kelemahan, kekurangan, tidak juga keterpaksaan. Sebagaimana
yang menimpa pada kekuasaan dan kehendak makhluk, yakni kehendak makhluk
memiliki keterbatasan, serba kurang, dan dikuasai.
b. Mensucikan Allah
Azza wa Jalla dari berbagai sifat yang kurang.
Wajib bagi para hamba untuk mensucikan Rabb dari kesia-siaan, kejahilan, kezhaliman dan selainnya dari berbagai kekurangan.
c. Penelitian atau pembahasan yang menyeluruh terhadap nash-nash al
Kitab dan as Sunnah, serta keluar dengan satu hukum setelahnya.
Hal ini sudah seharusnya dilakukan pada setiap permasalahan agama,
mengumpulkan nash-nash tentang suatu permasalahan, kemudian
bersungguh-sungguh dalam memahaminya, sesudah itu baru kemudian
mengeluarkan satu hukum.
d. Allah
Azza wa Jalla tidak ditanya tentang apa yang dilakukanNya.
Sebagaiman firmanNya :
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai. [al Anbiyaa` : 23]
e. Hendaklah memiliki pengetahuan, bahwasanya seorang hamba diberi
beban untuk melakukan berbagai sebab. Adapun hasilnya berada di tangan
Allah.
Tidak semua orang yang melakukan suatu sebab tertentu dan dilakukan oleh
orang lain yang semisalnya, keduanya memperoleh rizki yang sama.
Terkadang seorang manusia berusaha sungguh-sungguh, tetapi tidak
mendapatkan rizki yang banyak. Sedangkan yang lain berusaha dengan
kesungguhan yang minim, akan tetapi ia memperoleh harta yang banyak.
Bersama kesungguhan mereka, mereka juga memperoleh akibat yang buruk.
Maka berbagai hasil berada di tangan Allah. Dia-lah yang mempersiapkan
balasan dalam berbagai usaha sebagai bentuk keadilan dan
kebijaksanaanNya.
11. Definisi ihsan.
Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya, sepenuhnya ikhlas
untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian, sehingga
seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak mampu seperti itu, maka
ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang
ada pada dirimu.
Sabda Rasulullah ketika beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan kata ihsan “
engkau
menyembah Allah seolah-olah melihatNya dan seterusnya” mengisyaratkan,
bahwa seorang hamba menyembah Allah dalam keadaan seperti itu. Berarti,
ia merasakan kedekatan Allah dan ia berada di depan Allah seolah-olah
melihatNya. Hal ini menimbulkan rasa takut, segan dan mengagungkan
Allah, seperti dalam riwayat Abu Hurairah: “Hendaknya engkau takut
kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya”.
Ibadah seperti ini juga menghasilkan ketulusan dalam beribadah, dan berusaha keras untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.
Tentang sabda Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam “Jika engkau
tidak dapat melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”, ada yang
mengatakan, sabda tersebut merupakan penjelasanan bagi sabda sebelumnya.
Bahwa jika seorang hamba diperintahkan merasa diawasi Allah dalam
ibadah dan merasakan kedekatan Allah dengan hambaNya hingga hamba
tersebut seolah-olah melihatNya, maka bisa jadi hal tersebut baginya.
Untuk itu, hamba tersebut menggunakan imannya, bahwa Allah melihat
dirinya, mengetahui rahasianya, mengetahui yang diperlihatkannya,
batinnya, luarnya, dan tidak ada sedikit pun dari dirinya yang tidak
diketahuiNya. Jika hamba tersebut menempatkan diri dengan posisi seperti
ini, maka mudah bagi hamba tersebut untuk beranjak ke posisi kedua,
yaitu terus-menerus melihat kedekatan Allah dengan hambaNya dan
kebersamaan Allah dengan hambaNya, hingga hamba tersebut seperti
melihatNya.