Agama
adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta tata kaidah pergaulan manusia dan
manusia serta lingkunganya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Perbedaan
keimanan (agama) atau kepercayaan adalah fenomena yang nyata dalam
kehidupan masyarakat di Indonesia. Agama terkadang dirasa membatasi
manusia untuk bersosialisasi, pola interaksi seperti dikebiri.
Sepertinya kurang bebas. Apakah pernyataan seperti ini benar masih
mengganjal dalam pikiran kita?
Memang
tidak semua orang berpandangan demikian. Ini hanya sebuah kontra
paradigma setelah menyaksikan betapa indahnya toleransi antar umat
beragama menjadi dasar yang kuat menjaga keutuhan pluralitas Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang Pancasilais. Toleransi menjadi
fondasi yang tangguh melestarikan keragaman agama dan kepercayaan di
Indonesia.
Toleransi berasal dari kata toleran, yang berarti bersikap atau bersifat menenggang pendirian yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendirianya (KBBI). Toleransi adalah kelapangan dada, suka rukun dengan siapapun, membiarkan orang lain berpendapat atau berpikiran lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan orang lain (WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia 1980).
Semua
agama tentu mengajarkan nilai-nilai toleransi yang harus dipegang teguh
oleh para pemeluknya. Islam misalnya, agama dengan jumlah pemeluk
terbanyak di Indonesia sangat toleran terhadap pemeluk agama lain,
sangat menghargai keberadaan agama lain. Begitu juga Katolik yang dalam
internalisasi nilai-nilai kekatolikan menggambarkan bahwa semua manusia
adalah sama, tak perlu membeda-bedakan, hanya perlu saling menghargai
untuk memelihara perdamaian dan persatuan bangsa. Demikian pula agama
yang lainya yang kurang lebih sama mengahayati toleransi dalam
pluralisme keagamaan atau kepercayaan.
Apakah
selama ini toleransi telah diimplementasikan secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari? Apakah toleransi perlu dibelajarkan? Apakah
pendidikan, baik formal, informal, dan non formal telah sepenuhnya
terlibat membentuk sikap toleransi dan kepribadian peserta didik? Adakah
kesamaan budaya menjadi fondasi yang kuat menjaga sikap bertoleransi?
Ini pertanyaan reflektif yang harus dijawab oleh hati nurani setiap
insan, setiap warga negara RI.
Tidak
sulit jika bertoleransi dipandang sebagai sikap yang manusiawi. Manusia,
siapa dan dimanapun dia, wajib menghargai keberadaan orang lain. Mesti
tidak mempersoalkan eksistensi kebudayaan, kepercayaan atau agama orang
lain. Harus saling peduli. Bertanggungjawab terhadap setiap persoalan
bersama. Ini adalah bentuk toleransi yang umum, yang lazim masih
dipertanyakan. Apakah ada?
Sebenarnya
Indonesia masih memegang teguh pentingnya arti dan nilai dalam
bertoleransi antar umat beragama, nilai untuk toleran terhadap agama
lain. Hal di atas bukan hanya bentuk agitasi belaka, ini rill terjadi di
“Pesisir Nangadodo”. Nangadodo atau Nangaroro (sebutan berubah karena
pengaruh dialek masyarakat pesisir) adalah salah satu kecamatan di
Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Mayoritas penduduk di sana
beragama Katolik. Namun, di bagian pesisir sebagian besar warganya
beragama Islam.
Berbeda
agama tidak menjadi batas yang mempersempit ruang sosialisai. Berbeda
kepercayaan tapi disatukan oleh budaya yang sama. Budaya dan tradisi
positif yang kuat sudah mengakar turun-temurun dalam diri mereka. Mereka
hanya bangga bahwa mereka adalah orang Indonesia, warga Nangaroro
dengan beragam profesi, berbagai mata pencaharian. Mereka hanyalah para
petani, nelayan, para guru, dan lainya. Mereka adalah orang-orang yang
dilahirkan sama, tidak berbeda di mata Tuhan. Minoritas atau mayoritas
tidak dipersoalkan, tidak menjadi perdebatan. Apalagi menjadi bagian
dari cara “mengunjukan diri, siapa dan agama apa yang paling benar”.
Tidak! Agama hanya sebagai alat berkomunikasi, toh tujuanya sama, untuk
Tuhan yang Maha Esa.
Masyarakat
Nangaroro menyadari penuh pentingnya toleransi antar umat beragama. Hal
ini juga telah ditanamkan bagi generasi muda sejak masa sekolah. Contoh
sederhananya adalah ketika pembangunan rumah ibadah, mesjid dan gereja
misalnya, semua anak sekolah diwajibkan terlibat membantu, semua siswa,
tak pandang dari mana asal agamaya. Atau juga saat menjelang hari raya
keagamaan, membersihkan tempat ibadah sudah menjadi kewajiban semua
siswa. Dan yang paling berkesan adalah ketika Ramadhan, bulan puasa,
menjelang Idul Fitri. Masyarakat non-Muslim menjaga betul kekhususkan
umat Islam, tidak makan atau minum di tempat umum di siang hari, seperti
turut berpuasa. Ini pemandangan luar biasa yang harus dipertahankan.
Begitupula dengan hari-hari besar kaagamaan lain. Semua berpartisipasi,
menghargai keberadaan agama lain.
Paradigma
atau pola pikir tentang bertolreransi seperti orang-orang di Nangaroro
sekiranya perlu dipahami dan juga harus menjadi bagian dari bentuk
pembelajaran dalam hal bertoleransi antar umat beragama. Pemikiran
sederhana itu layak diacungi jempol. Tindakan-tindakan nyata layak
menjadi pemicu bagi kita semua untuk turut memperkuat persaudaraan,
salah satunya dengan bertoleransi. Makna toleransi antar umat beragama
seyogianya mampu dimaknai oleh setiap orang agar tetap menjadi dasar
yang kuat menjaga keutuhan NKRI. Oleh sebab itu peran semua masyarakat,
khususnya para tokoh, pemuka agama, dan pemerintah harus selalu terus
diperkuat secara kontinu untuk turut menjaga indahnya toleransi antar
umat beragama demi Indonesia yang satu.
0 komentar:
Posting Komentar