KIBLAT.NET – Ada banyak berita & laporan yang menggembirakan dari
benua Afrika. Jika dibandingkan dengan periode generasi sebelumnya,
tingkat kemiskinan rata-rata menurun, rasio jumlah penduduk yang bisa
baca tulis meningkat, usia harapan hidup bertambah, dan kasus gizi buruk
bagi anak-anak cenderung menurun. Upaya kampanye perang melawan
HIV/AIDS terutama di wilayah-wilayah yang rentan dengan penyakit
tersebut dinilai cukup berhasil. Saat ini banyak di antara negara-negara
Afrika mengalami perkembangan pembangunan yang begitu cepat, termasuk
peluang prospek di bidang investasi. Di tengah capaian positif
indikator-indikator pembangunan yang secara logis berkonskuensi
meningkatkan peluang & akses masyarakat di sektor sosial-ekonomi,
ada sesuatu yang membingungkan, bahwa saat ini Afrika merupakan arena
besar dinamika pertempuran dalam konteks perang global antara
“terorisme” dengan tata dunia baru di bawah hegemoni AS.
Satu: 30 Persen Serangan “Teroris” Terjadi di Afrika
Jumlahnya sangat mengejutkan. Dalam tiga bulan pertama 2016, tercatat
ada 262 insiden aksi terorisme yang terpisah di seluruh dunia. Dari
jumlah itu, 30 persen terjadi di benua Afrika di 15 negara yang
berbeda-beda di mana tiga di antara insiden-insiden yang terjadi lebih
besar dari serangan teroris di Belgia pada bulan Maret lalu yang
menewaskan 32 orang. Tidak diragukan lagi bahwa “terorisme” siapapun
aktornya – baik itu al-Qaidah, Ansharus Syariah, Boko Haram, ataupun
ISIS – merupakan momok nomor satu bagi kebijakan luar negeri AS di benua
hitam tersebut.
Universitas Maryland merilis Database Terorisme Global yang secara
sistematis membuat daftar urutan negara-negara di seluruh dunia
berdasarkan level ancaman terorisme masing-masing. Tahun lalu, 10 negara
Afrika masuk ke dalam 20 besar negara-negara dengan level ancaman
terorisme tertinggi. Indeks yang sama, menempatkan Boko Haram yang
beroperasi di sedikitnya empat negara Afrika: Chad, Niger, Nigeria, dan
Kamerun, sebagai kelompok teroris paling mematikan pada tahun 2015.
Dua: Geliat Boko Haram
Kelompok Boko Haram yang baru berusia 14 tahun telah mampu
menunjukkan kemampuan mereka untuk semakin eksis dan berkembang sebagai
hasil “mentoring” dengan al-Qaidah dan organisasi-organisasi afiliasinya
selama beberapa tahun terakhir. Meski secara resmi menyatakan sebagai
bagian dari ISIS al-Baghdadi, atmosfir di Afrika memberikan peluang
keterbukaan dan fleksibitas bagi Boko Haram untuk beraliansi dengan
kelompok-kelompok lain lintas afiliasi dalam rangka menghadapi musuh
bersama.
Media Barat menggambarkan Boko Haram sebagai kelompok yang
menggunakan segala cara untuk menebarkan ketakutan di Afrika bagian
tengah dan barat, termasuk menggunakan taktik penculikan terhadap
murid-murid sekolah perempuan untuk dijadikan pengebom bunuh diri. Chad
dan Kamerun adalah dua negara yang bergabung dengan koalisi regional
dalam perang melawan Boko Haram. Meski telah mendapatkan bantuan
militer, termasuk bantuan dari AS, koalisi negara-negara Afrika itu
masih belum mampu mengurangi potensi ancaman Boko Haram.
Tiga: Dominasi Al-Syabaab di Somalia
Somalia adalah basis yang aman bagi dua jaringan jihadis global.
Pertama, kelompok pejuang lokal afiliasi al-Qaidah yang sudah
sedemikian mengakar dan mengontrol wilayah luas di Somalia, yaitu
al-Syabaab. Kedua, kelompok afiliasi ISIS yang mulai menggeliat dan
beroperasi di Somalia. Sementara Kenya, sudah pasti para jihadis tidak
akan menyia-nyiakan peluang sekecil atau sebesar apapun untuk memperluas
wilayah operasi mereka di negara tetangganya itu.
Washington secara aktif terus memberikan bantuan militer kepada
pemerintah Somalia untuk memerangi dua organisasi mainstream para
jihadis tersebut. Namun, milyaran dolar yang dikeluarkan Washington
termasuk dukungan militer lainnya tidak diimbangi dengan kapasitas
pasukan militer Somalia yang dikenal luas memiliki kemampuan terbatas.
Sementara kebijakan kontra terorisme Amerika saat ini lebih banyak
mendorong negara-negara sekutu sub-ordinat lokal mereka untuk dijadikan
proksi sebagai gugus depan yang berhadapan langsung dengan para pejuang
jihadis.
Insiden “Blackhawk Down” tahun 1993 masih menjadi pengalaman pahit
yang tak terlupakan di mana unit pasukan elit Amerika berhasil
dipecundangi oleh milisi bersenjata Somalia, dan memaksa superpower
Amerika angkat kaki dari negeri tanduk Afrika itu. Satu hal yang
paradoks, hingga kini Presiden Obama terus berkampanye dengan menyatakan
secara berulang-ulang “kesuksesan” operasi AS melawan pejuang jihadis
di Somalia dan Yaman.
Empat: Intervensi Berbuah Perlawanan
Lebih dari 6 ribu pejuang ISIS ada di Libya. Sementara lebih banyak
lagi jihadis dari berbagai kelompok – termasuk afiliasi al-Qaidah –
telah membentuk aliansi luas dengan dukungan rakyat Libya untuk
membentuk pemerintahan Islam. Meskipun upaya politik sedikit mengalami
kemajuan, Barat menganggap Libya masih sangat rentan. Intervensi Amerika
pada tahun 2011 yang menewaskan Muammar Qaddafi itu telah memicu
kekacauan di Benghazi dan berdampak luas ke seluruh negeri. Sejak itu
pula, kebijakan Washington di Libya terus diperbarui, tentatif cenderung
membingungkan, dan pada akhirnya menjadi tidak efektif.
Perlawanan kelompok-kelompok jihadis menentang neo-kolonialisme
Barat sedang tumbuh di Afrika, demikian juga dengan model, taktik, dan
intensitas serangan terus berkembang dan meningkat. Jumlah kepentingan
Barat/Amerika di negara-negara Afrika yang menjadi target serangan terus
meluas, dan tingkat kerentanan negara-negara itu dinilai semakin parah.
Lima: Organisasi Lokal, Ancaman Trans-Nasional
Sejumlah analis mengatakan, di samping bersaing satu sama lain,
kelompok-kelompok jihadis Afrika itu juga saling menjalin kolaborasi
& kerjasama yang semakin erat, termasuk menggunakan berbagai
fasilitas komunikasi modern dan sistem yang canggih. Mereka juga berbagi
pengetahuan dan pengalaman tentang taktik militer, strategi media, dan
metoda pengiriman uang.
Ancaman mereka terus berkembang seperti yang terjadi di Libya dengan
adanya sejumlah wilayah yang tidak ber-pemerintahan, tersedianya sumber
daya minyak, pelabuhan, dan kedekatan geografis dengan benua Eropa dan
Timur Tengah. Berbagai faktor tersebut telah menjadikan wilayah itu
sebagai pusat operasional yang terus tumbuh berkembang baik bagi
al-Qaidah maupun ISIS untuk semakin memperluas jangkauan mereka di benua
Afrika.
Sebagaimana diketahui, para jihadis Afrika dengan berbagai
organisasinya itu merupakan sayap atau anak cabang dari sebuah komando
pusat atau organisasi induk masing-masing yang notabene lebih kuat dan
sangat jauh jaraknya. Kondisi ini justru membuat khawatir para pejabat
di negara-negara Barat karena pejuang-pejuang jihadis akan semakin mudah
memperluas pengaruh serta memperkuat kerjasama antar-kelompok meski
beda afiliasi, untuk mewujudkan ambisi mereka. Pada titik inilah para
aktor jihadis lokal bermetamorfosis dan berkembang dan dianggap menjadi
ancaman trans-nasional.
6. Para Pengambil Keputusan yang Salah
Sementara di Amerika sendiri, para pekerja & profesional di
bidang kebijakan AS dari kalangan menengah ke bawah baik itu di
Pentagon, Departemen Luar Negeri, dan di berbagai sektor bantuan
pembangunan untuk dunia internasional dengan tekun dan gigih bekerja
keras mengatasi tantangan tersebut. Sayangnya, di tingkat elit pengambil
keputusan di tempati oleh orang-orang yang salah.
Pada tahun 2003, Presiden Bush gagal mengenali potensi ancaman
kelompok-kelompok Islamis-Jihadis tersebut, sebaliknya ia menganggap
ancaman HIV/AIDS yang melanda benua Afrika sebagai ancaman yang paling
menakutkan. Dengan dukungan bipartisan, program bantuan di bidang
kesehatan internasional diluncurkan secara masif dan agresif sebagai
upaya yang efektif, dan diklaim telah bisa menghentikan penyebaran virus
tersebut. Presiden selanjutnya dihadapkan dengan tantangan baru yang
lebih besar, bukan lagi mengenahi virus HIV/AIDS, melainkan geliat
organisasi-orgasasi jihadis yang menyebar di seantero benua yang begitu
luas dan beroperasi wilayah Afrika bagian tengah, utara, timur laut, dan
barat, yang kurang lebih setara dengan luas daratan negara AS.
Upaya Amerika melawan pengaruh kelompok-kelompok jihadis di Afrika
itu diyakini tidak cukup hanya dalam waktu beberapa tahun bahkan dekade.
Kebijakan yang tepat dan kepemimpinan yang kuat sangat dibutuhkan untuk
memastikan bahwa ancaman terbesar dan paling menakutkan bagi Amerika
& Barat di abad ini tidak semakin tumbuh besar menjadi fenomena lain
di samping berita-berita positif tentang pembangunan di benua yang
sedang berkembang ini. Kepemimpinan yang kuat juga diperlukan untuk mau
menengok ke belakang dan mengakui hutang sejarah bangsa Amerika Serikat
kepada Afrika sebelum Amandemen Konstitusi Ke-13 Tahun 1865, bahwa
selama kurang lebih 2 abad orang-orang Amerika (pendatang) telah
“mengimpor” manusia hingga setengah juta lebih dari benua Afrika untuk
dipekerjakan secara paksa. Berani Tidak?
Kamis, 21 April 2016
Home »
Kabar dunia
» 6 Tantangan Terbesar AS di Benua Afrika
6 Tantangan Terbesar AS di Benua Afrika
TETAP OPTIMIS !!
http://www.gambarnaruto.com/wp-content/uploads/2015/05/Gambar-Wallpaper-Monkey-de-Luffy-One-Piece-Terlengkap26.jpg
0 komentar:
Posting Komentar